Kamis, 27 Februari 2014

Rumah Adat Sulawesi Tengah

RUMAH SOURAJA
Berbeda dengan Tambi yang diperuntukan bagi penduduk pada umumnnya, Di Sulawesi Tengah Banua Mbaso atau disebut juga Souraja merupakan rumah tradisional tempat tinggal turun temurun bagi keluarga bangsawan. Souraja pertama kali dibangun oleh Raja Palu, Jodjokodi, pada tahun 1892. Souraja yang pertama kali dibuat terebut, masih bisa dilihat pada saat ini.  Kata Souraja (Sou Raja) dapat diartikan rumah besar, merupakan pusat pemerintahan kerajaan masa lampau, bisa dikatakan sebagai rumah tugas darimanggan atau raja. Selama bertugas, raja beserta keluarganya tinggal di sini.
Secara keseluruhan, bangunan Banua Mbaso terbagi atas tiga ruangan , yaitu:

  • Lonta karawana (ruang depan). Ruangan ini berfungsi sebagai ruang tamu. Di ruangan ini dibentangkan onysa (tikar) sebagai alas. Para tamu yang menginap, biasanya bermalam menggunakan ruang ini. 
  • Lonta tata ugana (ruang tengah). Ruangan ini khusus untuk menerima tamu yang masih ada hubungan keluarga.
  • Lonta rorana (ruang belakang). Ruangan ini berfungsi sebagai ruang makan. Terkadang ruang makan juga berada di lonta tata ugana. Di pojok belakang ruangan  ini khusus untuk kamar tidur anak-anak gadis.

Untuk avu (dapur), sumur dan jamban, dibuatkan bangunan tambahan yang terletak di belakang bangunan utama. Untuk menghubungkan bangunan induk dengan ruang dapur tersebut dibuatkan jembatan beratap yang disebut dengan hambate atau dalam bahasa Bugis disebut jongke.
Souraja berbentuk rumah panggung yang ditopang sejumlah tiang balok dari kayu ulin, bayan, atau kayu besi yang terkenal keras. Atapnya berbentuk prisma yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang disebut panapiri, dan pada ujung bubungan bagian depan dan belakang diletakkan mahkota berukir disebut bangko-bangko.
Terdapat banyak kaligrafi huruf Arab pada pintu atau jendela, atau ukiran pompeninie pada dinding, loteng, pinggiran cucuran atap, bangko-bangko dengan motif bunga-bungaan dan daun-daunan. Serupa dengan ukiran-ukiran yang berada di Tambi, motif-motif hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah-tamahan dan kesejahteraan.

Kamis, 30 Januari 2014


 



PAKAIAN ADAT SULAWESI TENGAH

Pakaian tradisional merupakan bentuk fisik atau artefak budaya yang dimiliki suatu wilayah. Pakain budaya dapat memperlihatkan keragaman dan kekayaan negeri ini. Pakaian daerah juga dapat memperkokoh jatidiri bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memegang teguh semboyan “Bhineka Tungga Ika”.
Apabila di jawa terkenal dengan kebayanya, lantas di nias terkenal dengan pakaian baru oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan,. Maka di Sulawesi Tengah kita akan banyak menemukan berbagai pakaian adat.
Di Sulawesi Tengah, setiap etnis memiliki pakaian adatnya tersendiri. Misalnya pakaian adat etnis Kaili Kota Palu. Pakaian adat untuk perempuan dikenal dengan nama baju nggembe. Baju Nggembe merupakan busana yang dipakai oleh remaja putri. Biasanya baju ini dipakai saat upacara adatnya.
Baju Nggembe berbentuk segi empat, berkerah bulat berlengan selebar kain, panjang blus sampai pinggang dan berbentuk longgar. Baju Nggembe ini dilengkapi dengan penutup dada atau sampo dada dan memakai payet sebagai pemanis busana. Sarung tenun Donggala menjadi aksesoris bagian bawah pakaian ini. Donggala yang berbenang emas dalam bahasa Kaili disebut dengan Buya Sabe Kumbaja.
Cara pemakaian pakai adat ini mengalami perkembangan, dalam perkembangannya pemakaian sarung Donggala dirubah dengan mengikat sarung dan kemudian disamping kiri atau kanan dilipat untuk memperindah serta memberi kebebasan bergerak bagi si pemakai.
Aksesoris yang digunakan untuk pakaian ini ialah anting-anting panjang atau Dali Taroe, Kalung beruntai atau Gemo, Gelang panjang atau Ponto Ndate, Pending atau Pende.
Pende atau pending merupakan ikat pinggang yang digunakan pada saat seseorang (perempuan) memainkan tarian khas Sulawesi Tengah. Bahan emas dan perak menjadi bahan untuk membuat ikat pinggang ini dengan cara dicetak. Pada bagian dalam pende dibuat sebuah tempat untuk memasukkan tali pengikat kain yang berwarna kuning dan diberi hiasan. Namun dalam perkembangannya, hari tidak lagi digunakan ikat pinggang seperti itu. Ikat pinggang biasa lebih banyak digunakan hari ini untuk dikenakan bersama pakaian ini.
Semetara itu, pakaian adat untuk pria bernama Baju Koje/Puruka Pajana. Pakaian ini terdiri dari dua bagian, yaitu Baju Koje dan Puruka Pajama. Baju Koje atau baju ceki adalah kemeja yang bagian keragnya tegak dan pas dileher, berlengan panjang, panjang kemeja sampai ke pinggul dan dipakai di atas celana. Puruka Pajana atau celana sebatas lutut, modelnya ketat, namun killnya harus lebar agar mudah untuk duduk dan berjalan. Sarung dipinggang, keris, serta sebagian kepala menggunakan destar atau siga menjadi aksesoris pakaian ini.
Pakaian adat berikutnya ialah pakaian adat etnis Mori di Kab. Morowali. Pakaian adat etnis Mori terdiri dari pakaian adat untuk perempuan dan laki-laki.
Kaum hawa biasa mengenakan blus lengan panjang atau bahasa Mori disebut dengan Lambu, berwarna merah dengan hiasan dan motif rantai berwama kuning. Untuk bawahannya merka mengenakan rok panjang berwama merah atau hawu juga bermotif rantai berwama kuning. Mahkota atau pasapu digunakan untuk bagian kepala.
Adapun aksesoris yang digunakan pada pakaian ini ialah Konde atau Pewutu Busoki, Tusuk Konde atau Lansonggilo, Anting-anting atau Tole-tole, Kalung atau Enu-enu, Gelang Tangan atau Mala, Ban Pinggang atau Pebo’o, Cincin atau Sinsi.
Sementara itu, untuk pakaian adat yang dikenakan laki-laki ialah kemeja lengan panjang atau bahasa Mori dengan sebutan Lambu. Kemeja ini berwarna merah dengan hiasan motif rantai berwama kuning sama seperti pakaian perempuan. Untuk bawahan kaum laki-laki menggunakan celana panjang berwama merah atau Saluara. Bate atau destar digunakan dibagian kepala. Ikat pinggang menjadi perlengkapan untuk pakaian adat pria.
Pakaian adat etnis selanjutnya ialah pakaian adata etnis Toli-Toli di Kabupaten Toli-Toli. Seperti adat lainnya, pakaian adat etnis Toli-Toli terdiri dari pakaian adat perempuan dan laki-laki.
Kaum perempuan biasanya memakai blus lengan pendek atau Badu yang pada bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi manik-manik dan pita emas. Bawahan yang dikenakana, yaitu celana panjang atau Puyuka panjang dihiasi pita emas dan manik-manik. Sarung juga digunakan namun sebatas lutut atau Lipa. Kemudian dikenakan pula selendang atau Silempang dan ban pinggang berwarna kuning.
Aksesoris yang digunakan dalam pakaan ini ialah anting-anting panjang, gelang panjang, kalung panjang warna kuning, dan kembang goyang.
Sementara, untuk laki-laki mengenakan blus lengan panjang dengan leher tegak yang dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama kuning. Utuk bawahan celana panjang atau Puyuka panjang. Digunakan pula sarung sebatas lutut dan tutup kepala atau Songgo.
Berikutnya ialah pakaian Adat Etnis Saluan di Kab. Luwuk. Pada pakaian adat etnis ini, perempuan mengenakan blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn bahasa Saluan adalah Pakean Nu’boune. Rok panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Rok Mahantan menghiasi bawahan pakaian ini. Digunakan pula perhiasan berbentuk bintang.
Adapun aksesoris yang digunakan ialah gelang atau potto, kalung atau kalong, sunting, anting atau sunting, jaling, selempang atau salandoeng.
Para kaum pria atnis saluan mengenakan kemeja pria yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Pakean Nu’moane, celana panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Koja, penutup kepala/topi (Sungkup Nu’ubak), sarung pelengkap celana panjang (Lipa).
Ada pun bahan yang digunakan pakaian sehari-hari ialah bahan yang teridiri dari kulit kayu Nuru (pohon beringin).  Pembuatan bahan pakaian ini meliputi:
  • Menguliti kayu Nunu sebagai sumber bahan.
  • Merebus kulit kayu tersebut sampai masak lalu di bungkus selama tiga hari.
  • Di cuci dengan air untuk membersihkan getahnya dan biasanya menggunakan pula abu dapur.
  • Kulit kayu tersebut di pukul dengan alat yang disebut pola (bahannya dari batang enau) sampai mengembang dan melebar. Kemudian dipukul dengan alat yang bernama tinahi yang di buat dari batu yang agak kasar. Disini dapat disambung bahan yang satu dengan bahan yang lainnya agar menjadi lebar dan panjang, di susul dengan alat ike yang halus sampai bahan tersebut sudah menjadi sehelai kain yang panjangnya tiga sampai lima meter.
  • Setelah menjadi kain kemudian di gantung untuk di anginkan (nillave)
  • Sesudah kering dilipat untuk diratakan dengan pola tidak bergigi (niparondo) yaitu semacam setrika.
Pakaian upacara menggunakan kulit kayu Ivo sebagai bahannya. Kulit kayu Ivo merupakan kulit kayu yang lebih halus dan bermutu, dan lebih baik daripada yang terbuat dari kulit kayu Nunu.

Rabu, 22 Januari 2014

Tarian Tradisional Sulawesi Tengah





Sebagai salah satu daerah di Nusantara  yang memiliki beragam kekayaan budaya leluhur, Sulawesi Tengah memiliki berbagai jenis tari-tarian tradisional yang diwariskan turun temurun. Beberapa kabupaten memiliki tarian tersendiri yang berbeda dengan daerah kabupaten lainnya, namun beberapa diantaranya telah menjadi tarian khas Sulawesi tengah, yang kerap ditampilkan saat pertunjukan seni ataupun dalam penjemputan tamu-tamu daerah, berikut jenis-jenis tarian tersebut beserta penjelasannya.


Tari Pomonte
Tarian ini merupakan salah satu tarian Sulawesi tengah yang sangat popular, baik di tingkat nasional maupun mancanegara. Karenanya tarian ini sangat sering ditampilkan dalam berbagai acara baik yang sifatnya resmi maupun tidak.
Tarian Pomonte ini menceritakan proses kehidupan atau aktifitas petani sawah, dimana dikisahkan  mulai dari menanam padi, memelihara sampai panen tiba  dan akhirnya melaksanakan pesta panen dengan adat vunja yaitu tradisi masyarakat dalam mensyukuri keberhasilan panen. Tradisi adat vunja ini masih sering dilaksanakan oleh masyarakat bila panennya berhasil dan membawa berkah bagi masyarakat setempat.


Tari Pontanu
Tari Pontanu, atau tarian penenun dari Donggala merupakan tarian khas dari kabupaten Donggala, tarian ini menggambarkan bagaimana para perempuan-perempuan di Donggala dalam menenun sarung donggala, sarung donggala adalah sarung sutera tenunan tangan asli yang dikerjakan para perempuan donggala.


Tari Peule Cinde
Tarian ini adalah prosesi penyambutan tamu agung dimana setiap tamu agung yang berkunjung disuguhi oleh tarian ini dan ditaburkan bunga-bungaan oleh para  gadis-gadis penari yang cantik.

Tarian Dero
Tari ini berasal dari tanah Poso,  melambangkan sebuah ungkapan sukacita dari masyarakat Poso khususnya mereka yang mendiami daerah sepanjang lembah Danau Poso. Dimana keidentikan tarian Dero dengan masyarakat disepanjang lembah danau Poso didasarkan pada tradisi pengucapan syukur ( padungku ) setelah memperoleh hasil pertanian khususnya dari tanaman pokok padi yang terjadi secara bergelombang daerah tersebut.
Dero itu sendiri biasanya dilakukan didaerah lokasi yang cukup luas, sebab tarian ini merupakan tarian missal dimana para penarinya adalah masyarakat setempat dimana acara tersebut digelar.
Tarian ini  merupakan tarian yang sangat simple untuk dipelajari , para peserta tarian ini  hanya berdiri berdampingan dan bergandengan tangan dengan sesama penari. kemudian melakukan hentakan kaki sekali ke kiri kemudian dua kali kekanan mengikuti alunan pantun yang sahut-menyahut yang didendangkan salah seorang yang sedang ikut menari kemudian diikuti nyanyian pantun bersama oleh seluruh penari dero dengan diiringi tabuhan gendang dan gong.

Tarian Moraego
tarian ini adalah tarian masyarakat Kulawi, Besoa dan Bada. tarian ini biasanya dilakukan apabila ada pesta perkawinan dan upacara syukur panen yang berhasil. dilakukan oleh orang-orang tua terdiri dari 6 laki-laki dan 6 perempuan yang sudah memahami benar tata cara melakukan tarian sakral ini. Para penari dapat membentuk lingkaran atau saling berhadap-hadapan sambil menyanyikan syair-syair yang mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukur kepada sang pencipta.

Sumber: infosulteng